Umat Islam adalah umat yang suci dalam bidang apapun. Dalam bidang ibadah,
aqidah, maupun muamalah. Rasulullah SAW memberi contoh kita, umat akhir zaman,
untuk menjaga kesucian.
Kesucian yang harus dijaga, baik diri maupun hati karena kebersihan adalah
sebagian dari iman. Sering terdengar kalimat itu muncul dalam kehidupan
sehari-hari. Kalimat tersebut dominan dengan kebersihan pada tempat maupun
pakaian yang kita kenakan. Tetapi sebenarnya kalimat itu mengandung arti lain.
Kebersihan di sini bukan berarti hanya kebersihan tempat maupun kebersihan
pakaian yang di kenakan ataupun kondisi tubuh. Kalimat “kebersihan sebagian
dari iman” pada kata ‘kebersihan’ ternyata juga harus memperhatikan kebersihan
pada hati.
Hati merupakan landasan dalam tingkah laku sehari-hari. Menjaga kebersihan
hati agar tidak salah dalam bersikap kepada siapa pun. Jika hati yang bersih
terkena satu titik noda tapi noda itu tidak cepat dibersihkan, maka noda akan
semakin banyak dan akan susah untuk menghilangkannya. Hati yang bersih
merupakan suatu nikmat yang dianugerahkan Allah pada hamba-Nya yang tidak untuk
di sia-siakan. Kebersihan hati memberikan ketenangan jiwa di dunia dan
ketentraman di akhirat kelak.
Untuk menjaga hati, diperlukan pembelajaran baik itu menjaga hati untuk
taat kepada Allah maupun bertindak kepada sesama manusia. Menjaga hati
hubungannya yang vertikal, yaitu manusia dengan Tuhan, sebenarnya sangat mudah.
Kita melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi larangan Allah yang
dapat dilihat baik dalam Al Quran maupun dalam hadist. Tetapi yang memerlukan
cara yang agak sulit adalah menjaga hati yang hubungan secara horizontal yaitu
antara manusia dengan manusia.
Allah memberi amanat untuk menjaga hubungan antar manusia agar kehidupan di
dunia ini berjalan sebagaimana mestinya.
“Dan kami lenyapkan rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang
mereka merasa bersudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan” (Qs. Al-
Hijr (15): 47)
Banyak sikap yang dapat dilakukan, agar dapat menjaga hubungan baik antar
manusia. Sikap yang sederhana tersebut dapat hendaknya dilaksanakan untuk
keharmonisan hidup bermasyarakat.
Menebar salam. Salam bagi umat Islam adalah doa. Dalam salam, kita saling
mendoakan satu sama lain (Muhammad bin Ismail Al ‘Umrani, 2008:1).
“Penghormatan mereka (orang yang mukmin) ketika mereka menemui- Nya ialah
salam, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka”. (Al Ahzab
(33):44)
Setiap orang yang ditemui setelah kita salami berilah senyum, jika disambut
dengan senyum pasti akan dibalas dengan senyuman pula. Senyum adalah kunci yang
efektif untuk menjalin hubungan sillaturrahim (Muhammad bin Ismail Al ‘Umrani,
2008:1).
Langkah selanjutnya adalah memanggil nama yang disukai dan berjabat tangan.
Memanggil nama yang disukai membuat orang yang kita panggil menjadi lebih
nyaman berada di dekat kita. Berjabat tangan dapat menghapus dosa yang pernah
kita lakukan.
Sikap- sikap yang baik seperti menghargai orang lain, tawadhu’ (rendah
hati), berkata baik, menjadi pendengar yang baik, bersikap tenang, lemah
lembut, menghindari perdebatan, toleransi, lapang dada, dan menutupi aib orang
lain dapat menjaga hubungan, menjaga hati untuk saling berhubungan baik secara
horizontal (Muhammad bin Ismail Al ‘Umrani, 2008:1).
Dalam berhubungan, tidak harus kaku. Dapat pula kita bersenda gurau.
Rasullullah juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu harus baku untuk
menjalani hidup ini. Rasullullah juga bisa bersenda gurau dengan sahabat-
sahabatnya. Diam tidak selalu baik. “Diam itu emas”, begitu kata pepatah usang
lalu. Banyak yang memiliki penafsiran keliru dari sabda Rasullullah SAW
berikut:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang
baik atau diamlah”. (Muhammad Muhyidin, 2008: 53)
Dalam sabda tersebut bukan berarti harus selalu diam, tetapi ada waktu
tertentu dapat bersenda gurau ataupun ada waktu untuk berdiam. Diam diperlukan
jika tidak dapat berkata yang baik. Jika berbicara hanya menyakiti hati, lebih
baik diam. Maka diam saat akan berbicara yang tidak baik itu adalah emas.
Sikap yang dapat menjaga hubungan baik antar sesama manusia adalah minta
maaf dan memaafkan. Jika sudah berlaku tidak baik ataupun menyakiti hati orang
lain, wajib untuk meminta maaf pada orang tersebut agar orang tidak menyimpan
dendam. Orang yang memaafkan adalah orang yang sebaik- baik manusia yang suci
hatinya. (Majdi Muhammad Asy Syahawy, 2004:8).
Mensucikan hati bukan hanya mensucikan dari perbuatan yang melanggar
perintah Allah, tapi mensucikan hati juga mensucikan dari sikap antar sesama
manusia yang dapat mendekatkan diri kita kepada Sang Ilahi.
Daftar Pustaka
Muhammad bin Ismail Al ‘Umrani, Berburu Cinta Atas Nama Allah SWT,
Jakarta: QultumMedia, 2008
Muhammad Muhyidin, Mengapa Terkadang Saya Merasa Allah Tidak Adil,
Yogyakarta: Diva Press, 2008
Majdi Muhammad Asy Syahawy, Mempertajam Kepekaan Spiritual, Jakarta:
Bina Wawasan Press, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar